Tuesday, August 30, 2016

Tumbuhnya Rasa Cinta Terhadap Indonesia di Negeri Orang


Hammarkulle, sebuah daerah yang terletak di Timur Laut Kota Gothenburg, Swedia. Tempat ini memiliki keanekaragaman budaya yang cukup kaya karena orang-orang dari berbagai macam suku bangsa tinggal di sini. Mulai dari timur tengah, amerika latin, hingga afrika. Sejak akhir tahun 70-an, di daerah ini diadakan karnaval tahunan. Karnaval yang diadakan di sekitar bulan Mei ini menampilkan budaya dari berbagai macam negara.
Tahun ini, Hammarkullekarnevalen, atau karnaval Hammarkulle, diadakan tanggal 28 Mei lalu dan merupakan karnaval terbesar di Gothenburg. Ribuan orang berpartisipasi di karnaval ini. Parade, stand jajanan, dan penampilan di panggung menjadi bagian dari karnaval ini. Pengunjung dapat menyicipi makanan dari berbagai negara, mulai dari wafel Belgia hingga Ćevapi dari negara Balkan.
Bagian dari parade di Hammarkullekarnevalen

Salah satu dari lusinan performer di karnaval tersebut adalah was Indonesiska Föreningen i Göteborg (forum Indonesia di Gothenburg). Dengan memakai pakaian tradisional Indonesia (tepatnya pakaian dari Sumatera Barat dan Bali), mereka menampilkan 2 tarian tradisional Indonesia. Saya merupakan salah satu dari mereka.
Penampilan pertama adalah tari Cenderawasih yang ditampilkan oleh Andita dan Yeni dengan pakaian tradisional Bali. Tarian yang terinspirasi dari burung cendrawasih ini memukau penonton dengan gerakan-gerakannya yang mengalir dan indah. Rok pada pakaian mereka memberikan impresi ekor dan kepakan sayap cenderawasih.
Mbak Andita dan Mbak Yeni menampilkan tari Cenderawasih

Lalu dimulailah tarian kedua, Tari Serampang Dua Belas yang berasal dari Deli Serdang, Sumatera Barat. Tarian ini merepresentasikan perjalanan pemuda dan pemudi dalam mencari cinta. Gerakan-gerakan dari tarian ini sarat akan filosofi perjalanan cinta pemuda dan pemudi Indonesia. Santun, halus, dan penuh rasa hormat terhadap lawan jenisnya, dihiasi oleh sedikit gerakan lucu yang menunjukkan rasa malu-malu saat mencoba memikat pujaan hati. Saya dan Luki, sekaligus sebagai perwakilan mahasiswa Indonesia di Swedia memerankan laki-laki, sementara Mbak Herny dan Mbak Gamma memerankan perempuan di tarian ini.
Tari Serampang Dua Belas

Kami hanya punya waktu 1 bulan untuk mempersiapkan diri melakukan tarian yang rumit ini. Setahu saya, dibutuhkan lebih dari 3 bulan untuk dapat melakukannya dengan sempurna, sehingga bisa ditebak bahwa kami melakukan beberapa kesalahan saat menampilkan tarian di sana. Namun, penonton nampak terhibur dengan penampilan kami, melihat dari cara mereka bertepuk tangan dan sorak sorai yang meriah.
Sejujurnya, dulu saya hampir tidak pernah peduli dengan hal-hal tradisional Indonesia seperti seni, budaya, tarian dan semacamnya. Namun, berada 14000 kilometer dari rumah malah menyadarkan saya bahwa budaya Indonesia memang sangat kaya, indah, dan patut diberi apresiasi. Hidup di lingkungan internasional, seperti kuliah di Swedia memberi banyak kesempatan untuk memperkenalkan negara kita ke dunia luar. Kita juga bisa mengambil esensi dan filosofi dari budaya, seni, atau tarian-tarian Indonesia untuk diaplikasikan di kehidupan dunia modern dan era globalisasi ini.

Terakhir, saya juga dapat mengenal lebih banyak budaya dari berbagai belahan dunia. Semuanya indah dan memiliki filosofinya tersendiri. Festival Hammarkullekarnevalen diadakan setiap tahun. Jangan ditanya, saya ingin melakukan performance lagi tahun depan. Hobi saya di bela diri membuat saya ingin melakukan performance silat untuk karnaval berikutnya.

Siap untuk Menampilkan Silat Tahun Depan! Apakah Hanya Akan Menjadi Wacana?

Monday, August 22, 2016

Menunda Pekerjaan...

Ingat dulu saat kamu masih jadi mahasiswa? Ada tugas yang harus segera diselesaikan, tapi kamu malah asik main facebook. Atau di minggu-minggu ujian, bukannya belajar tapi malah liat video kucing salto di youtube, main game, tidur-tiduran dan semacamnya..."belajarnya nanti aja semalem sebelum ujian, santai lah dosennya baik ini". Ingat rasanya? enak dan nagih kan? Lari dari tanggung jawab, bersenang-senang, melupakan kewajiban sebagai generasi penerus bangsa.
TOP 10 REASONS I PROCRASTINATE
  1.  
 Sekarang, sesudah lulus kuliah, masih melakukan hal-hal tersebut? Kalau diberi tugas dari bos, kalau ada sesuatu yang harus dilakukan, kita entar-entaran aja, merasa tenang, lakuin di last minutes aja, lakuin ini dulu-itu dulu-nganu dulu bla bla bla.
Procrastination. The act of delaying or postponing something. Alias menunda-nunda pekerjaan, adalah sesuatu yang to certain degree, kita semua lakukan. Alasannya bisa jadi karena kita merasa masih mager (malas gerak), ngumpulin nyawa dulu, capek, atau merasa waktunya masih banyak, jadi tenang aja. Kalau istilah mahasiswa: tugas dikumpulin besok, ya dikerjakan besok.
Tentang procrastination, ada banyak pro dan kontra. Bill Gates bilang: "To be a good professional engineer, always study late for the exams. Because it teaches you to manage time and tackle emergencies”. Sementara Buddha bilang: "The problem is we think we have time (while we may actually don’t)". Saya sendiri, walau tidak sempurna, lebih cenderung pada orang yang anti-procrastination. Dan ada baiknya kita semua berlatih mengurangi, kalau bisa berhenti menunda pekerjaan. Karena banyak sesal yang bisa datang menghampiri.
Jadi saya punya teman. Anggap saja namanya Mawar. Kami belajar bareng semalam sebelum ujian, lalu ujian besoknya berjalan dengan cukup lancar. Saat hasil ujian dibagikan, si Mawar ini gak lulus hanya karena kurang 1 poin. SATU POIIINNN!!!! Lalu dia bilang begini: "Ah kalau ada sehari lagi aja buat belajar, gue pasti lulus deh ujian ini". Saya kesal lah mendengarnya. Woooooyyy kamu tu diberi waktu seminggu penuh buat mempersiapkan diri buat ujian ituuu! Kenapa baru mulai belajar 12 jam sebelum ujian? Ke mana aje brooo?!
Biasanya kita bakal beralasan ada banyak hal penting lain yang harus dikerjakan dalam rentang seminggu tersebut. Tapi coba refleksikan, berapa banyak hal yang benar-benar urgent yang harus dilakukan? Berapa jam terbuang untuk facebook-an, marathon K-Drama, main CS, DoTA, pacaran, jalan-jalan, yang kalau 20% nya aja dikonversi jadi waktu belajar bisa mengubah hasil ujian?
Saat diberi tugas, kerjaan, atau kewajiban lainnya, penyakit kita adalah menunda-nunda. Kita memilih bersenang-senang dulu, melakukan kewajiban kemudian. We think we have time. Kita pikir kita punya waktu. Sekali lagi, kita pikir kita punya waktu. Kenyataannya? Mungkin tidak. Contohnya si Mawar tadi. Dia memilih untuk belajar di last minute sebelum ujian. Untung dia cuma gagal di ujian, bisa ngambil lagi kuliahnya semester depan. Gimana kalau itu sebuah kerjaan. Bosnya marah lalu dia dipecat...gimana kalau gitu?
Kawan, yang Bill Gates bilang kalau belajar di akhir-akhir melatih kita untuk mengatur waktu dan menangani keadaan darurat (maaf ya kalau di-translate ke bahasa Indonesia jadi jelek kelihatannya) ada benarnya. Tapi ada baiknya kalau belajar lebih awal. Kenapa? Agar lebih siap lagi. We can't be too prepared for battle, saya sih mendingan mandi keringat karena kebanyakan latihan daripada mandi darah sendiri di pertarungan.
Mari bicara tentang aspek kehidupan selain kehidupan sebagai mahasiswa. Ceritanya kamu punya ide bisnis yang brilian nih. Bakal menghasilkan untung banyak, atau bahkan mengubah dunia. Bukannya mulai merintis dan/atau membangun ide tersebut, kamu memilih untuk membiarkan idemu begitu saja. Pembenaranmu: "nanti kalau udah punya cukup modal", "nanti kalau udah nikah", "nanti kalau udah ini-itu" dan bla bla bla lainnya. Nggak salah sih, kamu tidak bisa membangun bisnis, apalagi mengubah dunia dalam semalam. Tapi lagi-lagi refleksikan dengan jujur: berapa kali atau berapa lama setelah itu kamu benar-benar memikirkannya? Benar-benar mengusahakannya? Sampai beberapa waktu kemudian, ternyata ada orang lain dengan ide mirip denganmu dan melakukannya benar-benar jadi kaya dan terkenal...menyesallah dirimu.
Contoh lainnya: Mau melakukan hal yang memang perlu dilakukan. Kuberi beberapa contoh ya:
1. Punya pacar yang abusive, sehingga hubungan gak bahagia. Bukannya diakhiri (atau paling gak diomongin) kamu memilih untuk diam. Alasannya gak enak mutusin (atau ga enak ngomongin kalau si pacar itu kelakuannya buruk).
2. Ada bagian mobil yang rusak. Bukannya dibawa ke bengkel tapi malah dibiarin aja. Alasannya ke bengkel jauh, makan waktu, lagian mobilnya masih bisa jalan.
3. Usia menginjak kepala 3, tapi malas olahraga. Alasannya nanti, sibuk kerja, ngurus anak, dll. Padahal kalau gak kerja dan ngurus anak main gadget doang kerjaannya.
Sepintas semuanya harmless. Tapi semuanya akan jadi bom waktu yang meledaknya gak tau kapan, dan timingnya bisa jelek banget. Tunda-tunda selama 6 bulan, tiba-tiba si pacar main fisik, jadi korban kekerasan deh lo. Tunda-tunda selama 3 bulan, tiba-tiba kerusakan mobilnya merembet hingga gak bisa dinyalain lagi. Tunda-tunda selama 5 tahun, tiba-tiba serangan jantung datang karena gak pernah olahraga.
Kawan, dalam skala kecil procrastinating tidak apa-apa. Dalam kondisi tertentu menunda pekerjaan mungkin juga diperlukan (tunda ngerjain PR karena kebelet, contohnya). Tapi, alangkah baiknya kalau kita melatih diri agar tidak terbiasa menunda-nunda pekerjaan. Pertama, agar tidak terbiasa kebawa ke masalah yang bisa merembet jadi besar (contoh di atas). Kedua, kalau kita sengaja mengerjakan sesuatu dekat-dekat dengan deadline, maka kita akan screwed big time kalau tiba-tiba ada sesuatu lain yang mendadak di saat kita mau mengerjakan pekerjaan tersebut...jadi malah berantakan kan?

Semoga berhasil dalam berlatih menjadi diri yang produktif dan tidak suka procrastinating.
Salam!
Starting to get things done is arduous. But do it now, and enjoy the glory later 

Saturday, August 20, 2016

Lulus Kuliah, Mau Kerja Atau Sekolah Lagi?

Jadi kamu baru saja keluar ruang sidang. Teman-temanmu menyambutmu dengan balon, mengalungimu dengan tulisan gelar (insert S.T, S.Si, S.Pd, S.E, or other title here). Kamu mempost foto-fotomu di instagram, path, atau media sosial lainnya. Ratusan kata selamat kau dengar bagai lantunan musik rapnya Eminem... Perjuangan berbulan-bulan menyusun skripsi pun selesai sudah.


(Lulus nih ceritanya, dapet toga!)

Beberapa waktu setelahnya, seremoni paling sakral di kampusmu diadakan...WISUDA! Ya, perjuanganmu sebagai mahasiswa berakhir di sini. Kau mencopot gelarmu sebagai Agent of Change, Iron Stock, dan Social Control (ada lagi gak sih peran mahasiswa? Lupa, maaf saya bukan mahasiswa yang baik kayaknya dulu ). Pokoknya hari itu kamu sangat bahagia, sampai ada yang bilang Today is yours! Toga kau kenakan, pesta pora pun kau lakukan...hingga hari itu berakhir.


(Masa depan yang cerah pun menanti...Or is it?)

Besoknya, kamu sudah jadi pengangguran! Secara teknis kamu adalah beban negara, sama seperti orang-orang di usia non-produktif (bayi, balita, lansia masuk dalam kategori ini lho!). Well, secara teknis kamu beban orang tuamu sih. Umumnya, ada 3 pilihan sesudah lulus kuliah kamu mau jadi apa, yaitu: 1. Kamu cari kerja. 2. Kamu lanjutkan pendidikanmu ke jenjang yang lebih tinggi. 3. Kamu berwirausaha. Apapun pilihanmu, biasanya akan ada pro dan kontranya, kamupun memasuki masa-masa galau. Galau karena sudah gak ketemu teman-temanmu lagi, galau mau ngapain habis ini, sampai galau karena orang tua nyuruh cepat nikah. Kali ini saya mau membahas antara lanjut sekolah, atau cari kerja, beserta membahas beberapa paradigma yang menempel di masyarakat Indonesia. Siap?


FRESH GRADUATE NIH. CARI KERJA LAH!

Bagi kamu (kecuali mungkin 5% dari populasi mahasiswa yang belum lulus sudah di-take sama perusahaan buat kerja), beres kuliah langsung bekerja merupakan pilihan yang penuh tantangan. Kenapa? Kamu harus rela keluar dari zona nyamanmu. Tidak ada lagi yang namanya bisa bangun siang karena kuliah siang (kecuali memang kamu dapat kerja shiftnya shift siang). Kamu merasa senior dan/atau dosenmu killer? Siap-siap menghadapi bosmu dan sikut-sikutan di kantor! Tidak ada lagi libur-libur panjang tiap semester seperti saat kamu kuliah dulu. Secara teknis, kamu sudah menjadi orang dewasa sepenuhnya. Dengan mendapat gaji, kamupun sudah bisa mandiri secara finansial.

Jika kamu berniat berkecimpung di dunia profesional setelah lulus kuliah, biasanya orang tua dan keluarga besarmu sudah menganggapmu dewasa, maka kamu tidak lagi mendapat THR di hari raya, kamu pun akan mulai ditanya kapan mengakhiri masa lajangmu. Dari sesudah wisuda sampai kamu benar-benar dapat kerja, bisa memakan waktu hitungan minggu hingga bulan. Di waktu-waktu kritis tersebut kamu akan mengalami yang namanya bolak-balik sana-sini fotokopi ijazah, bikin CV, datang ke job fair, dan segala keribetannya. Ditambah lagi, jika kamu mengetahui kalau jurusanmu ternyata kurang populer di bursa dunia kerja (curhat: contohnya Teknik Material kurang populer dibanding Teknik Mesin dan Teknik Sipil...paling tidak di Indonesia) maka akan lebih susah lagi bagimu untuk mencari pekerjaan. Setelah dapat kerja pun bukan berarti hidupmu jadi lebih mudah. Kamu bisa saja disuruh lembur, pulang baru jam 2 dini hari (jadi inget jaman ospek dulu ya?). Kamu bisa saja dikirim buat kerja di daerah-daerah di Indonesia yang jangankan ada internet, angkutan umum pun jarang. In short, kamu juga mesti mengabdi buat perusahaan tempatmu bekerja, kalau tidak negara. Nah, jika kamu berfikir kamu belum siap akan kerasnya dunia kerja, mungkin kamu berniat lanjut kuliah dulu?


GAPAI PENDIDIKAN SETINGGI-TINGGINYA, LANJUT S2 KALAU PERLU S3!

Entah karena kamu belum move on dengan kehidupan kampus, kamu memang memiliki passion dengan bidang keilmuanmu, atau disuruh orang tua. Keputusan untuk mengubah gelarmu dari sarjana menjadi magister (atau doktor) juga memerlukan pertimbangan tersendiri. Pertimbangan yang paling utama mungkin masalah finansial. Usia sudah 22 (asumsi masuk kuliah S1 dulu 18 tahun dan lulusnya 4 tahun) lebih tapi masa masih minta duit dari orang tua? Untuk melanjutkan pendidikanmu ke jenjang yang lebih tinggi perlu uang yang tidak sedikit.

Solusinya? Beasiswa lah! Kamu mungkin berpikir seperti itu. Memang benar dewasa ini beasiswa pendidikan bertebaran, Mulai dari dapat makan gratis, sampai biaya hidup dan biaya pendidikan ditanggung oleh penyelenggara beasiswa. Tapi masalah tidak selesai sampai di situ. Pertanyaan yang perlu kamu jawab adalah: Apa yang ingin kamu capai dengan menempuh jenjang yang lebih tinggi ini?

Beberapa beasiswa menawarkan studi pascasarjana di luar negeri dengan gratis. Mereka akan membayar biaya pendidikanmu, memberimu uang saku yang jika dikonversikan ke rupiah mungkin lebih besar dari kebanyakan gaji fresh graduate sekarang. Contohnya beasiswa dari LPDP, Swedish Institute dari Swedia, Chevening dari Inggris, dan Monbugakusho Jepang. Sepintas kita akan berpikir: Asik dong! Udah belajar, “dibayar” mahal, dapat kesempatan jalan-jalan ke luar negeri lagi! I’m telling you, brothers and sisters, this is where you are dead wrong!


(Mumpung dapet beasiswa di Eropa nih, Jalan-jalan ke Belanda dulu laaaah)

Mereka-mereka yang berangkat ke luar negeri, terutama dengan bantuan beasiswa, umumnya merasa bahagia karena mendapat kesempatan jalan-jalan di tempat yang dulu hanyalah impian belaka. Kita akan sering melihat posting-an di media sosial bahwa si X sedang jalan-jalan ke Paris, si Y sedang selfie dengan aurora sebagai latar belakangnya, si Z nulis greeting card buat adik kelasnya (atau PDKT-annya) di Indonesia? Well, itu semua nggak ada salahnya, mereka (dan saya) memang having a good time berkuliah di luar negeri. Hanya saja, jika dulu kalian memutuskan untuk studi ke luar negeri sekaligus aji mumpung buat jalan-jalan, bersiaplah ditampar oleh kenyataan.
BEING (POST-GRAD) STUDENT CAN BE A CURSE
Tahukah kamu di balik selfie si X, Y, dan Z yang terlihat bahagia itu, tersimpan kerja keras yang gak main-main? Biasanya mahasiswa bisa jalan-jalan setelah ujian atau saat winter/ spring break. Sebelum itu? Ya isinya perjuangan semua. Kadang kelas dimulai saat matahari belum terbit dan berakhir setelah matahari terbenam (di eropa kalau musim dingin ini benar-benar terjadi). Lalu tugas-tugas yang menumpuk, yang kadang membuat si mahasiswa harus membaca belasan halaman hanya untuk menyelesaikan tugas dengan topik yang baru buat dia. Belum lagi revisi-an ini itu, kerja di lab sampai gak pulang, dan sebagainya. Kalau dipikir-pikir sepintas, habis lulus S1 langsung kerja nampaknya lebih bijak. Kerja aja jam 9-5 tiap hari, digaji sehingga keadaan finansial aman, gak perlu banyak mikir, dan lain-lain lah…paling nggak itu yang pernah dikatakan salah satu kerabat saya.

(Mau hunting foto Aurora kayak gini? Begadang 3 hari dulu buat siap-siap ujian!)


(Atau mau pose macem jagoan di Skogafoss, Iceland? Nabung dulu berbulan-bulan! Lu kira tiket murah?)

Hidup sebagai mahasiswa pascasarjana di luar negeri (bisa jadi) lebih sengsara daripada orang-orang yang memilih kerja setelah lulus kuliah S1 nya. Belum lagi ditambah jauh dari rumah. Kangen keluarga, kangen pacar (maaf ya yang jomblo), kangen masakan Indonesia, culture shock, dan banyak lagi deh! Dengan beasiswa, kamu akan dapat uang saku yang kalau dirupiahkan, nilainya sekitar 10-20 juta perbulan. Lebih besar dari kebanyakan gaji fresh graduate sarjana. Tapi bukan berarti kamu bisa hidup enak di sana. Biaya hidup di luar negeri tidaklah murah. Sebagai gambaran saja, di beberapa negara di Eropa, biaya apartemen (atau kost) sekitar 5 juta rupiah sebulan. Mau makan di luar? rogoh kocek dulu 150-200 ribu per orang. Nah, kalau begitu kan hidup gak senikmat yang dibayangkan. Intinya, banyak struggle tersendiri yang perlu kita hadapi sebagai mahasiswa internasional.
BERES NIH CERITANYA S2, ASIK DAPET GAJI GEDE DONG!
Itu harapan kita semua, gaji yang lebih besar. Tapi emang iya? Coba cari di website kayak jobstreet atau lihat ke career fair yang diselenggarakan di Indonesia. Berapa persen yang mensyaratkan lulusan S2 (atau S3)? Jawabannya hampir gak ada. Lho kok bisa? Susah-susah kuliah ekstra 2 tahun nih tapi kok malah gak ada yang mau? Kalaupun ada gaji dan posisinya gak beda jauh dengan yang S1? Kok beginiiii????!
Makanya aku bilang tadi, siap-siap ditampar oleh kenyataan! Memang begitu di Indonesia. Saat ini memang lulusan S1 (atau D3) diutamakan untuk kerja. Dan daripada lulusan S2, perusahaan akan memilih lulusan S1 dengan pengalaman 2 tahun kerja. Logikanya sama-sama menghabiskan waktu 2 tahun, mending milih yang sudah pengalaman kerja.

JADI APA MENDING GUA KERJA AJA? GAK USAH S2 GITU?
Don’t ask me. Pilih yang sesuai dengan minat dan kebutuhanmu. Sebelum memutuskan, get in touch with yourself. Yakinkan dirimu tentang mana yang mau kamu pilih. Kalau kamu maunya S2 karena merasa pengetahuanmu kurang atau merasa belum siap kerja, ngapain maksain kerja? Stres sendiri nanti. Kalau kamu merasa butuh siap kerja dan merasa banget duit (misal perlu bantu biaya pendidikan adikmu), ya jangan maksain sekolah lagi.
Perbedaan antara sarjana dan pascasarjana itu kurang lebih seperti ini:
Sarjana: Mengaplikasikan pengetahuan dan menggunakannya untuk berbagai keperluan praktikal
Pascasarjana: Memproduksi pengetahuan dan menyiapkan standar penggunaan pengetahuan tersebut.
Jadi kalau melihat kebutuhannya di masyarakat, sarjana diperlukan untuk membangun masyarakat (or more: membangun bangsa). Namun, kita juga perlu orang yang memperluas pengetahuan kita dan mengaplikasikannya sampai tingkat praktikal. Ilustrasi sederhananya, sarjana harus tau logam mana yang cocok dipakai untuk pipa bawah laut beserta perawatannya, pascasarjana mengembangkan jenis logam yang (ceritanya saat ini belum ada) bisa dipakai di bawah laut yang lebih dalam. Jadi memang keduanya diperlukan kok. Hanya saja mungkin di Indonesia belum terlalu banyak pascasarjana (lulusan S2 atau S3) yang diperlukan.


(Saat melarin karet aja perhitungannya bisa 2 papan tulis, itulah pendidikan master)

Ada pertimbangan lain nih, kalau kamu memang mempertimbangkan gaji dan memang ingin melanjutkan studimu ke jenjang S2 atau S3. Banyak perusahaan multinasional (contohnya Rolls Royce) yang mensyaratkan pendidikan minimal master (S2) untuk menjadi pegawainya. Gajinya pun memang jauh lebih besar untuk entry level. Tapi perhatikan kata MULTINASIONAL nya. Artinya seleksi masuk perusahaan tersebut akan lebih ketat dan hanya kandidat terbaik yang terpilih. Jadi kalau kamu memutuskan untuk kuliah (S2) maka jalan satu-satunya adalah do your best. Persiapkan dirimu agar qualified untuk beasiswa, lalu belajar yang serius nanti saat kamu kuliah, sehingga kamu bisa lulus dengan nilai yang memuaskan dan jalanmu menuju karir yang cemerlang lebih terbuka (This goes without saying bahwa kalau mau kerja juga harus lakukan yang terbaik saat seleksi dan saat kerja, kalau nggak ya dipecat dong? Haha)

BEBERAPA PERTIMBANGAN
Setelah berbincang dengan beberapa teman, saya bisa menyimpulkan bahwa baik kerja maupun lanjut S2 setelah lulus kuliah ada pro dan kontranya. Saya rangkum untuk bahan pertimbangan kalian ya.
I. Setelah Lulus Kuliah Langsung Kerja
Pro:
1.  Mandiri secara finansial (dalam artian juga bisa planning ini-itu dengan pasti karena ada pemasukan rutin)
2.   Dapat pengalaman kerja (yang di masa depan bisa dipakai untuk melamar ke pekerjaan yang lebih bagus)
3.    Kesempatan bekerja sama dengan orang dari latar belakang yang berbeda.

Kontra
1.      Berhadapan dengan politik, drama, sikut-sikutan dunia kerja. Perlu kedewasaan yang tinggi dalam menghadapi ini.
2.      Kadang perlu belajar hal yang sangat baru, tergantung permintaan bos
3.      Bisa kalah bersaing kalau tren nanti banyak anak muda yang S2 (melihat banyaknya beasiswa yang ditawarkan sekarang)

II. Setelah Lulus Kuliah Lanjut S2
Pro:
1.   Menaikkan harga “jual” (secara global)
2.   Menambah ilmu.
3.  Skill dan networking yang tidak mudah didapat di Indonesia (kalau ke luar negeri bakal bergaul dengan banyak orang dari berbagai negara)
Kontra:
1.      Lowongan kerja jika sudah lulus nanti, di Indonesia masih sedikit
2.      Kadang perlu belajar hal yang baru (sama kayak kerja kan?!)
3.   Nanti saat kerja setelah lulus S2 nya, dapat tantangan kerja yang sama (lihat kontranya langsung kerja)


PENUTUP

Apapun keputusan yang kalian ambil, jangan lupa hal-hal berikut:
1.      Jangan malas, apalagi berhenti belajar
Kalau kamu S2, belajar yang rajin (ini sudah dibahas tadi). Kalau kamu kerja, belajar juga perlu. Kamu akan perlu skill-skill lain yang mungkin dulu tidak terpikirkan saat kamu kuliah (misal: mahasiswa teknik sipil tapi kadang perlu pemrograman, belajar bisnis dan manajemen)
2.      Keep an Open Mind
Kalau kamu sudah kerja, jangan mentang-mentang sudah bergaji, merendahkan si yang kuliah S2. Begitu pula sebaliknya, mentang-mentang beasiswa di luar negeri, memandang rendah yang “hanya” lulusan S1. Tiap orang punya jalannya masing-masing. Bodoh kalau membanding-bandingkan dan merendahkan satu sama lain (Katanya kaum terpelajar?)
3.      Do Your Best
Ini termasuk berperforma bagus, datang tepat waktu, dan membangun relasi antar kolega (kalau kamu kerja). Jangan lupa belajar dengan rajin, kerjakan tugasmu, raih nilai terbaik (kalau kamu memutuskan untuk S2 atau S3)


4. Lakukan Dengan Integritas
    Ini termasuk dari poin 3 di atas, tapi ini perlu ditekankan berkali-kali. Kenapa? Karena integritas adalah sesuatu yang tidak terlihat namun dampaknya besar! Kalau kamu kerja tanpa integritas, kamu tidak akan mencintai pekerjaanmu, kamu tidak jujur pada dirimu sendiri (apalagi kolegamu), kamu bakal kerja setengah-setengah. Kalau kamu sekolah (terutama dengan beasiswa) tanpa integritas, kamu akan menuntut ilmu setengah-setengah, percuma negara (atau organisasi lain penyelenggara beasiswa) membayarmu untuk belajar. Tanpa integritas, karirmu tidak akan cemerlang dan ilmu yang kau capai tidak akan bermanfaat.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menginspirasi.

Earth Brick and Stone: Workshop Frenzy