Monday, April 24, 2017

Precious Lessons in April

Di atas langit masih ada langit. Itulah peribahasa yang harus terus kita hayati. Terkadang mendapat sedikit karunia, baik itu kemenangan, posisi, atau hadiah berupa material, membuat orang merasa lebih daripada yang lainnya. Padahal kemenangan, sejatinya hanyalah sementara karena hidup ini adalah perjuangan yang tanpa henti. Pun jikalau kita adalah orang yang hebat dan memiliki kemenangan, dunia ini bukanlah selebar daun kelor. Banyak orang yang lebih hebat di luar sana. Mereka semua punya cerita dan banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Dan pelajaran terbesar adalah saat kita merasakan kekalahan. Entah mengapa kita akan langsung menyadari apa saja yang kurang dalam diri kita saat kita terkalahkan dalam suatu kompetisi...yang sebenarnya juga kita sadari saat biasa-biasa saja tapi kita cenderung mengabaikannya.

Saya mau menceritakan pengalaman saya dan apa saja yang saya pelajari dari rangkaian acara yang saya ikuti baru-baru ini, dan membagikan sedikit tentang apa yang saya pelajari, mungkin kita bisa berdiskusi lebih jauh untuk mendapat pencerahan lebih jauh. Akhir Maret lalu, saya dan teman-teman saya mengikuti kompetisi bernama EBEC 2017 yang merupakan singkatan dari European BEST Engineering Competition atau Kompetisi Engineering BEST (= terbaik/ nama organisasi penyelenggaranya) se-Eropa. Kompetisi ini terdiri dari babak lokal, babak regional, dan babak final. Babak lokal diselenggarakan di Chalmers, di mana kami berkompetisi memecahkan masalah teknis dengan tema Industry 4.0 (tentang mengintegrasikan industri dengan komputer dan otomasi). Pemenang dari babak lokal akan dikirim ke babak regional se-Nordik (Nordik adalah daerah di eropa yang terdiri dari Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia).



SIngkat cerita, kami memenangkan kompetisi EBEC tingkat lokal ini. Kombinasi antara pengetahuan di bidang produksi, delegasi tugas yang pas, presentasi yang energik, ditambah semangat memenangkan lomba membuat kami menang. Saya merasa bangga saat itu. Saya merasa saya (dan tim saya) cukup baik untuk menyelesaikan masalah di bidang engineering. Jujur, ada sedikit bibit kesombongan dalam hati saya. Ini bukanlah hal yang baik, dan merupakan kebiasaan buruk saya yang sampai sekarang masih saya coba untuk hentikan. Tapi paling tidak saya berhasil untuk “tidak terlalu pamer” karena saya cukup sadar bahwa kesombongan bakal membawa petaka nantinya.
Sekitar 3 minggu setelah kemenangan itu, kami pergi ke Lund untuk berkompetisi di babak regional. Singkat cerita, kami tidak memenangkan babak ini sehingga kami tidak bisa ikut babak final bulan Agustus nanti. Tapi di sini saya mau membagikan pelajaran apa saja yang saya dapat dari kekalahan kemarin.

Kompetisi EBEC tingkat regional Nordik kali ini bertema tentang bagaimana mengembagkan teknologi untuk membantu orang dengan disabilitas. Dan definisi dari “disabilitas” di sini cukup luas. Dulu saya berpikir bahwa disabilitas berarti orang yang cacat fisik seperti pincang atau lumpuh. Namun, ada juga disabilitas yang dinamakan disabilitas kognitif, yaitu orang yang memiliki kelemahan dalam berpikir. Bukan berarti orang itu bodoh, namun bisa jadi karena ada masalah di otaknya. Contohnya paling sederhana adalah veteran perang yang kepalanya terbentur cukup keras hingga sekarang jadi sangat mudah lupa. Contoh lainnya adalah orang yang menderita alzheimer sehingga kesulitan untuk melakukan hal-hal yang sederhana. Maka tugas kita kaum terpelajar dan tidak punya disabilitaslah untuk membantu mereka menjalani hidupnya secara normal. Bukankah tugas yang kuat itu menolong yang lemah?

Studi kasus yang menjadi bahan kompetisi kali ini adalah mengenai seorang tokoh fiktif bernama Henrik yang mengalami kesulitan dalam membaca, tidak punya sense of measurement (dia tidak bisa membedakan mana “terlalu banyak” mana “terlalu sedikit”), sangat mudah frustrasi saat menghadapi tekanan, dan beberapa masalah kognitif lainnya yang membuat dia tidak bisa menjalani kehidupan layaknya manusia biasa. Tugas seluruh peserta adalah merancang pertolongan apa yang dapat kita manfaatkan untuk membuat dia dapat bepergian ke luar negeri dengan menggunakan berbagai sumber transportasi.

Kesan pertama saya adalah: WOW ini sesuatu yang baru! Karena setahu saya di Indonesia, orang dengan disabilitas biasanya ditemani oleh perawat, baik itu perawat professional, teman, atau keluarga (hampir) ke manapun mereka bepergian. Tapi nampaknya di benua biru ini, selain ingin membantu, orang-orang juga menjunjung tinggi nilai “Independent” atau sedapat mungkin tidak membuat si penyandang disabilitas terlalu bergantung pada orang. Salah satu nilai tambah dari hal ini adalah membuat si penyandang disabilitas tidak merasa diri mereka menyedihkan, dan membuat paradigma positif bahwa seburuk-buruknya disabilitas yang mereka alami, mereka tetap manusia dewasa yang bisa mengurus diri mereka sendiri.

Singkat cerita, kami diberi waktu sehari-semalam (dipotong waktu istirahat, makan, dan bersosialisasi) untuk berdiskusi dan memberikan presentasi di hadapan para juri yang nanti akan menilai penampilan para peserta. Kesalahan pertama saya adalah saya masih agak merasa “gampang lah bisa menang nih”. Saya dan tim saya banyak menghasilkan ide-ide gila dan original, tapi saya merasakan bahwa komunikasi kami sebagai tim kurang intens dibandingkan dengan saat babak lokal kemarin. Sehingga walaupun banyak ide yang bagus dan cukup bisa diimplementasikan, kami tidak bisa fokus ke ide mana yang harus diutamakan. Kami ingin menampilkan semua ide-ide kami, akibatnya, saat presentasi, tiap ide hanya dibahas permukaannya tanpa membahas lebih dalam esensi dari ide-ide tersebut.

Kesalahan kedua saya (dan tim saya) adalah kurang menunjukkan empati pada tokoh Henrik ini. Saya merasa seharusnya kami membahas apa saja yang diderita Henrik, apa implikasi tiap-tiap kekurangannya pada tiap bagian di perjalanannya, dan apa yang bisa dilakukan untuk meringankan penderitaannya, namun tetap membuatnya cukup mandiri sebagai manusia dewasa. Namun, kesalahan terbesar saya adalah saat saya mencoba bekerja sendiri saat yang lain sedang beristirahat di malam hari. Saat itu jam 2 pagi, semua anggota tim dan peserta kompetisi lain sedang beristirahat. Saya memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan sendiri agar esoknya kami bisa punya waktu lebih untuk mempersiapkan isi presentasi dan bersiap-siap untuk menampilkan presentasinya. Biasanya, di hidup saya ini adalah foolproof strategy. Karena memberikan effort ekstra saat yang lain sedang bersenang-senang atau nyenyak dalam tidur mereka adalah cara para juara mempersiapkan kompetisi mereka...paling tidak itulah yang sering ditunjukkan di film-film penuh motivasi seperti Rocky, Karate Kid, atau kisah kemenangan atlit-atlit kelas dunia. Begitu pula pada diri saya, banyak kesuksesan yang saya raih salah satu faktornya adalah saya bersedia bekerja lebih keras saat yang lain sedang berpesta, tidur, atau berlibur. Dengan sedikit pembenaran: biar gak telat subuh, jadi tidur habis subuh aja, saya meneruskan pekerjaan saya semalam suntuk.

Nampaknya, strategi “pintar” saya tidak bisa dilakukan di semua aspek kehidupan dan asal dipakai seenaknya. Saya tidak menyadari bahwa saya sudah sangat lelah karena acara EBEC ini terdiri dari banyak aktivitas. Saya bisa tetap bangun dan bekerja karena saya menenggak beberapa gelas kopi, namun itu tidak membuat otak saya bekerja se-optimal biasanya. Selain itu, hal ini membuat saya tidak bisa berkomunikasi dengan anggota tim lainnya. Sehingga esoknya, malah banyak yang harus disesuaikan dan cukup banyak waktu terbuang karenanya. Sebagai pelengkap, saya hanya tidur sekitar 4 jam, ditambah akumulasi kelelahan akibat semua rangkaian aktivitas rangkaian acara EBEC, ditambah sebelum berangkat ke EBEC saya masih begadang demi thesis saya. Jadi pada saat presentasi, saya akui saya tidak dalam kondisi se-prima saat di babak kompetisi lokal. Teman-teman tim saya melakukan presentasi dengan sangat baik, namun saya tidak. Omongan saya terlalu cepat, bahasa Inggris saya gagu, sehingga poin-poin yang mau disampaikan ke juri kurang mengena. Padahal bagian presentasi saya adalah inti dari solusi yang kami ajukan untuk masalah si Henrik.

Sebelum melanjutkan cerita tentang kompetisi, saya juga ingin menceritakan bagian lain dari rangkaian aktivitas di EBEC ini. Ada 3 orang yang berperan sebagai juri. 2 orang merupakan professor di Universitas Lund yang bergerak di bidang desain untuk menolong orang dengan disabilitas. Sebagai orang Indonesia, ini hal yang benar-benar baru. 1 orang lagi adalah perwakilan dari asosiasi engineer di Swedia. Mereka memberikan kuliah umum tentang bagaimana mendesain sesuatu atau fasilitas yang bisa membantu orang-orang dengan disabilitas sedekat mungkin dengan menjalani hidup normal. Saya mendapat gambaran betapa butuh perencanaan yang teliti dan betapa butuh kesabaran dan empati dalam merancang hal-hal seperti ini. Pelajaran yang saya ambil di sini: kalau mau menolong orang, kita harus pintar!

Kuliah umum tentang desain untuk penyandang disabilitas


Akhirnya tibalah saat semua tim mempresentasikan hasil studi kasus mereka. Hampir semua tim menggunakan strategi untuk mendesain suatu aplikasi pada gadget untuk membantu si Henrik dalam perjalanannya. Yang membuat saya terkesima adalah semua tim bisa memunculkan ide-ide yang out of the box dalam waktu singkat. Lalu tingkat empati yang mereka berikan pada karakter Henrik ini luar biasa. Mereka bisa membandingkan dan memberi gambaran kesulitan apa saja yang akan dialami oleh penyandang disabilitas dalam aktivitas sehari-hari. Walaupun itu hanya sesederhana bepergian. Ditambah dengan penyampaian presentasi yang sangat menarik dan bahasa Inggris yang enak didengar, membuat saya merasa malu pernah merasa sombong. Lagi-lagi peribahasa masih ada langit di atas langit kembali menunjukkan kebenarannya.

Kegagalan merebut posisi pemenang di babak Nordik bukanlah yang pertama kalinya saya merasakan pahitnya kekalahan. Namun, dibalik itu adalah kesadaran bahwa kegagalan adalah guru yang baik. Dari sini saya lebih menyadari apa saja yang kurang dari diri saya dan apa saja yang bisa saya latih dan perbaiki lagi. Dan sebagai orang yang terdidik untuk melihat hikmah di balik semuanya, saya bisa berpikir positif bahwa jika kami menang, maka kami harus beraksi di babak final bulan Agustus nanti. Pada bulan Agustus kemungkinan besar akan berada di Nepal (akan dibahas di post berikutnya ya!), jadi mari anggap saja ini kehendak Tuhan agar saya bisa fokus ke hal lain dan sebuah pecut untuk menjadi orang yang lebih baik.

Sekarang tinggal bagaimana caranya agar semua pelajaran yang saya dapat beberapa hari yang lalu bisa terpatri di hati.
Semoga menginspirasi!

Earth Brick and Stone: Workshop Frenzy